SABTU 8 Oktober lalu merupakan hari besar bagi umat muslim. Hari itu bertepatan dengan 12 Rabiul Awal penanggalan Hijriah, yang diketahui sebagai tanggal Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Sebagian umat Islam begitu antusias memperingati hari kelahiran Nabi. Acara demi acara pun diselenggarakan, mulai festival keagamaan hingga tablig akbar. Hal itu tidak lain tidak bukan merupakan bentuk rasa cinta mereka terhadap Nabi Muhammad sekaligus pengharapan mereka agar kelak mendapatkan syafaatnya di yaumulakhir nanti.
Pada bidasan kali ini saya bukan ingin membahas perayaan maulid Nabi dalam konteks penyelenggaraannya. Namun, di sini saya ingin mencoba menyelisik persoalan bahasa yang terdapat dalam kata maulid.
Tentu kita sudah tidak asing lagi ketika mendengar atau melihat kata maulid. Istilah maulid diambil dari padanan bahasa Arab, yakni walada, yang berarti hari atau tempat kelahiran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring, maulid diartikan sebagai hari atau tempat lahir. Ada juga kata maulud yang sering saya jumpai. Keduanya berasal dari kata yang sama, yakni walada, tetapi memiliki makna yang berbeda. Dalam bahasa Arab, maulud berarti yang dilahirkan. KBBI pun mengacu pada makna yang sama, yakni yang dilahirkan. Kalau kata maulid mengacu pada tempat atau waktu kelahiran, maulud mengacu pada bayi yang ....