CERPEN

Tanah Perawan

Min, 02 Jul 2023

SEBELUM selesai kuceritakan kenapa kau berani melawan sejarah demi pundi-pundi rupiah, Kidung Turun Sintren (1) berhasil membiusmu keluar dari kurungan besar yang terbuat dari anyaman bambu yang terbalut kain merah. Lepas dari jerat tali yang melilit tubuhmu. Sebelumnya kau terlihat telentang tak berdaya di dalamnya. Sekarang, kau keluar begitu ayu dengan baju golek (2), celana cinde (3), juga hiasan untaian melati di telinga kiri dan koncer (4) di telinga kanan. Empat orang di sekelilingmu membantu memapahmu berdiri di depan puluhan penonton. Ragamu masih nyata, tetapi jiwamu telah dipinjam pawang sintren yang berharap datangnya hujan.

Tiba-tiba tubuhmu telah melenggak-lenggok dengan tarian sampur yang mengikat pinggang mengikuti irama Kidung Sintren setelah wajahmu diusap pawang sambil mendengungkan mantra. Dengan pipi kemerahan dan kedua matamu tertutupi kacamata hitam, kau terlihat manis memang. Juga membuat penasaran siapa pun yang memandang. Lewat ritual ini, penantian lebih dari tiga ratus hari akan terbayarkan. Bagaimana warga berharap hujan segera datang. Ketika lahan sawah dari pinggiran Ligung hingga ujung Sumberjaya hanya dikirim angin gersang dari utara.

Di antara semua perawan desa di kampung ini, entah kenapa kau yang selalu terpilih. Banyak yang bilang kau mewarisi bakat mendiang ibumu yang juga seorang penari sintren. Sebuah pulung yang menurun tidak secara kebetulan. Namun, tidak sembarang pawang memilih perempuan untuk ritual pemanggil hujan seperti ini. Ada banyak syarat yang harus dipatuhi dan dipersiapkan. Termasuk ....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement