CERPEN

Celoteh Ismail

Min, 03 Jul 2022

MENJELANG hari kurban, Ismail kerap membawa cerita selepas kembali bermain bersama kawan-kawannya. Perihal kambing-kambing yang dilihatnya di halaman Masjid Maryam—tak jauh dari kolam renang Surya Indah. Kambing-kambing yang akan disembelih tepat di hari kurban. Kambing-kambing milik Pak Dewan.
Ada sepuluh ekor, kata Ismail kepada ibunya. Ada yang hitam, ada juga yang putih. Suara khas mengembiknya bersahut-sahutan. Banyak anak sebaya Ismail suka bermain di halaman masjid hanya untuk melihat kambing-kambing itu. Tontonan yang jarang dan hanya bisa dinikmati saban menjelang hari kurban.
“Tidak ada lagikah cerita yang kau bawa, Nak? Selain kambing,” ucap ibunya yang tengah berada di dapur. Ismail berdiri di ambang pintu. Mulutnya tak henti berdecak. Kambing yang gemuk dan sehat. Jika sudah disembelih, tentulah dagingnya empuk dan enak. Begitu celoteh bocah kecil berambut ikal itu.
“Kambing-kambing itu beda, Bu.”
“Beda apanya? Semua kambing tentulah sama, tak akan menyerupai gajah atau kucing,” seloroh ibunya.
“Sudah sering Mail melihat kambing. Tapi tak pernah sesenang sekarang.”
“Ya, apa yang membuatmu begitu bersemangat? Bukankah dalam beberapa hari ini, kau juga terkadang melihat kambing lain? Tapi tak segirang seperti sekarang.”
“Karena kambing-kambing itu milik Pak Dewan.”
Rahmi—sang ibu melirik. “Jangan terlalu sering main sama Zulfan!”
“Lho, kenapa, Bu?” dahi Ismail berkerut. “Lagi pula, jika Mail tak ke rumahnya, Zulfan akan menyuruh Rifa, Dimas, dan Rifki ke rumah kita, ngajak Mail.”
Rahmi mendekati anaknya. “Malu kalau kau sering main di rumahnya. Zulfan tidak sebanding denganmu. Dia anak orang kaya. Ayahnya anggota dewan. Punya kolam renang besar yang ramai pengunjung, rumah sewaannya banyak. ”
Ismail mendecak. “Apa ada larangan dari Tuhan untuk anak miskin bermain sama anak kaya?”
“Tidak, tapi kita harus tahu diri,” Rahmi mengingatkan.
“Bu, menurut Pak Ustaz… di mata Tuhan, semua manusia itu sama. Hanya manusia sendiri yang membeda-bedakannya!”
“Kau susah Ibu omongin.”
Ismail melengos lalu membalikkan tubuh kurusnya, pergi ke luar rumah tanpa menghiraukan teriakan ibunya. Rahmi mendesah dan kembali menuju dapur. Menanak nasi. Tangannya mengiris tempe kecil-kecil. Untuk persiapan berbuka puasa.
Sejam kemudian, Ismail baru kembali. Tampak gurat bahagia di wajahnya. Ia kembali berceloteh perihal kambing-kambing itu. Kambing-kambing Pak Dewan, ayah Zulfan.
Rahmi menanggapi ala kadarnya. Terkadang Ismail menceritakan tentang Pak Dewan. Lelaki yang baru dikenal Ismail itu tampaknya peduli anak-anak, terlebih yang suka bermain dengan anaknya. Ismail dan kawan-kawannya kerap disuguhi makanan dan minuman enak. Lalu dipersilakan bermain di kolam renang, gratis.
Rahmi dan Ismail baru beberapa bulan tinggal di daerah ini, menghuni salah satu rumah sewaan milik Pak Dewan yang dikelola istrinya. Per bulan, lima ratus ribu rupiah, belum termasuk bayar listrik dan air. Rumah yang terdiri atas satu kamar tidur, ruang tamu merangkap ruang tengah, dapur sempit, dan kamar mandi. Tidak luas, tapi cukup untuknya dan Ismail.
Rahmi bekerja sebagai tukang cuci, setrika, dan beres-beres dari satu rumah ke rumah lain. Sebelumnya, ia dan anaknya tinggal di daerah lain. Karena ajakan teman seprofesinya, ia berhijrah. Ismail pun masuk sekolah dasar terdekat.
Rahmi cukup betah tinggal di kawasan ini. Meski pekerjaannya tak rutin, namun untuk kebutuhan sehari-hari tidak terlalu sulit. Lingkungannya pun resik.
Lagi pula ia dan anaknya terbiasa hidup miskin. Makan nasi dan garam pun sudah terbiasa. Memang, dari penghasilannya itu, ia harus pandai menyisihkan untuk bayar sewa rumah. Setiap awal bulan, seorang yang ditugasi istri Pak Dewan akan menagih uang sewa dan Rahmi tak mau sampai menunggak.
“Bu, Mail tak sabar menanti hari kurban. Mail ingin makan daging kambing.”
“Semoga kita dapat rezeki. Bisa makan daging kambing. Tapi, jika tidak… jangan terlalu berharap!”
“Tapi…”
“Dengar, Mail, kita warga baru, ini hari kurban pertama kita di sini. Jadi, jangan terlalu menunggu-nunggu. Ibu dengar, di sini pun tak banyak yang akan berkurban.”
“Pak Dewan, Bu”
“Sudah, kau jangan banyak berharap ingin diberi. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.”
“Artinya?”
“Ya, lebih baik memberi daripada meminta!”
“Mail tidak suka meminta!”
“Itu buktinya sama Pak Dewan!”
“Bukan minta, tapi mengharap diberi!”
“Ya sama saja! Sudah, jangan ngoceh melulu. Sebentar lagi azan magrib dan kita akan berbuka puasa. Nasi sudah matang dari tadi. Ibu sudah goreng tempe orak-arik dan tumis kangkung!”
Ismail tidak mengoceh lagi, malah mendadak bungkam. Rahmi mendekat dan mengusap bahu anak itu.
“Siapa yang memberi nama Mail?” mata bening itu tiba-tiba menatap ibunya.
“Kenapa kau tanya itu lagi?” keluh Rahmi. Ini bukan kali pertama. Sebelumnya pernah tercetus pertanyaan serupa. Namun, Rahmi enggan menjelaskannya. Hanya akan menguak kenangan lama. Menyakitkan. Hingga senja tenggelam, hingga Ismail berbuka puasa tanpa selera, Rahmi tak kunjung berkata-kata.
Rahmi ingin menghapus kisah lama, namun tak pernah mampu. Lelaki itu pergi meninggalkan anak dalam kandungannya. Pamit ke pulau seberang untuk mencari rezeki dan berjanji kembali setahun kemudian. Namun, yang dinanti, tak kunjung pulang, bahkan kabarnya pun ditelan angin.
Tak ada yang bisa dijadikan tumpuan saat hidupnya nelangsa. Kedua orangtuanya sudah lama tiada. Kakak-kakaknya mencibir lantaran Rahmi ditinggal lelaki tak bertanggung jawab. Rahmi dinikahi lelaki itu tanpa restu keluarga karena menganggap Rahman—sang lelaki tercinta Rahmi—tak jelas asal-usulnya. Tatkala nikah, lelaki itu datang sendiri.
***
Sehari lagi menjelang hari kurban. Sore hari, langit muram. Tak seperti biasa, Ismail mengurung diri di rumah semenjak pagi. Tak ada celoteh perihal kambing-kambing Pak Dewan. Ia banyak merenung. Ibunya menyarankan berbuka puasa saja lantaran khawatir anaknya sakit. Tapi, Ismail berkeras dirinya sehat dan tidak akan berbuka puasa sebelum waktunya. Terlebih hari terakhir itu puasa Arafah.
“Lalu, apa yang membuatmu murung, mendekam di rumah?”
“Mail hanya sedang malas ke luar saja, Bu.”
“Kau tidak bermusuhan kan sama kawan-kawanmu?“
Ismail menggeleng.
“Tapi, tak seorang pun kawanmu yang kemari hari ini.”
“Tidak tahu, Bu. Barangkali mereka lagi malas, sama seperti Mail,” ucapnya. Lalu menatap ibunya. “Bu, mengapa Ibu memberi nama Ismail?”
Rahmi mendecak. “Katamu, kau sudah tahu dari Pak Ustaz jika Ismail itu….”
“Anaknya Nabi Ibrahim. Karena kepatuhannya kepada Allah… Ismail rela disembelih oleh ayahnya seusai bermimpi mendapat perintah Allah,” potong Ismail. Ia tahu cerita itu, namun yang diinginkannya adalah jawaban yang lain.
“Kau pintar, Nak, seperti ayahmu,” lirih Rami sebatas dalam hati. Lelaki yang pernah membenam benih cinta di rahimnya itu lelaki yang cerdas. Meski waktu itu hanya pekerja komidi putar yang berkeliling kota mencari peruntungan, tetapi semangatnya untuk menjadi orang besar selalu berkobar. Karena itu, Rahmi merelakannya merantau, menanti dengan bangga meski penantian itu kian menyesakkan dada, dan berakhir hampa.
Saat Ismail mulai menanyakan keberadaan ayahnya, Rahmi masih bisa menjelaskan, “Ayahmu akan kembali.” Ismail terus bertanya dan dijejali jawaban sama hingga anak itu tak pernah menanyakannya lagi. Pada akhirnya, Rahmi menganggap lelaki itu telah mati.
“Buka puasa hari terakhir, Ibu menggoreng tempe orak-arik buatmu, juga kerupuk bawang,” Rahmi berusaha menghibur. Ismail tak menanggapi. Semenjak pagi, hatinya diliputi rasa sedih yang begitu mendalam setelah mengingat kawan-kawan sepermainannya, terlebih Zulfan, yang bisa merayakan hari kurban bersama ayah mereka masing-masing. Ia pun ingin menghindar dari buruan pertanyaan, “Mail, kapan ayahmu datang?”
“Mail, jika besok ada rezeki yang memberi daging kambing, kita bisa membuat gulai atau satai, ya?” Rahmi mencoba memecah keheningan.
Ismail diam.
“Tentang namamu, namamu Ismail itu karena bertepatan kau lahir di hari kurban.”
Ismail melirik ibunya. Ia baru dengar. Menyelusup rasa senang meski tipis.
“Mail, Ibu kangen kau berceloteh tentang kambing-kambing Pak Dewan.”
Ismail masih diam.
“Eh, Mail, Zulfan itu seusiamu?” Rahmi terus mencoba.
“Dia baru kelas empat, Mail kelas enam. Bisa Ibu hitung berapa usia dia,” Ismail baru membuka mulut. Rahmi mengulas senyum. Tebersit bangga dengan cara anaknya yang cerdas mereka kalimat. Lagi-lagi ia teringat lelaki yang sekian lama tergenang dalam kenangan.
“Mail, kau sering bersua Pak Dewan, kan? Baik, ya? Orang-orang bilang, dia baik dan dermawan. Meski kita tinggal di rumah sewaannya, tapi sekalipun Ibu belum pernah bersua,” Rahmi terus mengajaknya bercerita agar anaknya mau membuka mulut lagi. Namun, Ismail kembali memilih bungkam.
Tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di luar. Ismail beranjak dari duduknya, gegas membuka pintu rumah. Di luar pagar, seorang anak bertubuh gemuk tampak girang sembari melambaikan tangan. “Maiiiiiilll… ke mana saja kau hari ini?”
“Zulfan!” seru Ismail.
“Ayo sekarang ikut, ayah akan mengajak kita berjalan-jalan dan berbuka puasa bersama!”
Binar bahagia seketika terpancar di mata Ismail, terlebih saat dari mobil, turun sosok lelaki, ayah kawan sepermainannya. Pemilik kambing-kambing yang akan disembelih besok.
“Halo, Mail, ayo buruan!” lelaki itu mengembangkan senyum ke arah Ismail yang berdiri di ambang pintu.
Dari dalam rumah, telinga Rahmi bak tersengat, menangkap suara yang seperti datang dari masa lalunya. Bergegas ia singkap tirai jendela. Dadanya tetiba terasa sesak. Meski dibalut pakaian sebagus apa pun, ia tak akan pernah lupa pada lelaki berambut ikal yang tengah berbincang dengan Ismail. Lelaki yang sama dengan yang sepuluh tahun lalu pernah mengelus perutnya saat hamil tua beberapa hari sebelum pergi merantau. “Rahmi, jika anak kita laki-laki dan lahir tepat di hari kurban, berilah dia nama Ismail. Aku berharap, anak kita menjadi anak yang saleh dan patuh kepada orangtua dan Allah, seperti halnya Ismail, anak Nabi Ibrahim.” (M-2)

Bandung, 12 Juli 2020

Komala Sutha menulis dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Indonesia. Tulisannya dimuat dalam koran dan majalah. Telah menerbitkan buku tunggal, novel Separuh Sukmaku Tertinggal di Halmahera (Mujahid Press, 2018) dan kumpulan cerpen Cinta yang Terbelah (Mecca Publishing, 2018).


....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement