DALAM menyambut bulan pendidikan kali ini, patut kita renungkan kembali cara pandang kita terhadap manusia dalam konteks pembangunan nasional. Selama ini, istilah ‘sumber daya manusia’ atau SDM telah menjadi mantra yang diulang-ulang dalam berbagai dokumen kebijakan, perencanaan strategis, maupun diskursus publik.
Istilah itu tampak netral dan fungsional, tetapi sesungguhnya memuat cara pandang yang reduktif. Manusia sering diposisikan hanya sebagai faktor produksi dalam kerangka ekonomi. Dengan demikian, nilainya diukur dari sejauh mana ia dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, produktivitas industri, dan daya saing global.
Dalam paradigma ini, manusia menjadi objek yang harus dikelola, dilatih, ditingkatkan kompetensinya, dan disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Pendekatan itu tentu memiliki nilai praktis tertentu. Akan tetapi, jika dijadikan satu-satunya orientasi, ia akan mengikis sisi-sisi kemanusiaan yang lebih dalam—seperti nurani, makna hidup, dan tanggung jawab sosial. Istilah ‘sumber daya manusia’ mengandung bias teknokratis yang mengabaikan nilai-nilai spiritual, budaya, dan moral....