KOMITMEN pemerintah yang berkali-kali diucapkan untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu diragukan. Wacana pembentukan kembali Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dihembuskan akhir 2019 tak terlihat kemajuannya. Rencana pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB) dengan mekanisme nonyudisial juga menuai pertanyaan.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, menyatakan rencana pembentukan UKP untuk penanganan nonyudisial prosesnya perlu terbuka. Sejauh ini, rencana pembentukan unit tersebut belum mendapat perhatian luas.
Rencana UKP itu juga diingatkan agar tidak bertentangan karena penyelesaian nonyudisial dalam UU Pengadilan HAM disebutkan melalui KKR. Menurut Herlambang, pembentukan kembali KKR yang undang-undangnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 sebenarnya perlu disegerakan sejak itu.
“KKR itu sudah seharusnya segera dibuat, tidak perlu menunggu lama. Itu seharusnya disegerakan, mulai masanya SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) sampai saat ini Jokowi nyatanya belum juga,” kata Herlambang.
Rencana pembentukan UKP itu juga disoroti lantaran pembentukan KKR melalui UU berjalan lambat. Selama ini, pemerintah tampak tidak serius untuk mendorong KKR. Sebagai contoh kerja-kerja yang sudah dilakukan KKR Aceh (mandat MoU Helsinki) mampu mengumpulkan kesaksian sekitar 5.000 warga Aceh. Pemerintah pusat menempatkan kasus yang ditangani KKR Aceh setengah hati.
Herlambang menyatakan pengungkapan kebenaran dan pengakuan menjadi prinsip utama yang harus dikedepankan untuk bisa memulihkan korban. Penyelesaian melalui jalur yudisial atau nonyudisial bergantung pada proses di penegakan hukum. Sayangnya, proses yudisial di Kejaksaan Agung selama ini masih mandek. Pendekatan nonyudisial pun dinilai tak maju-maju.
“Pengungkapan kebenaran itu paling utama. Korban didengar dan pelaku mengakui. Masalahnya selama ini korban tidak pernah didengar. Yang ada justru diteror, orang mau membongkar kuburan massal saja mendapat ancaman. Jadi, bagaimana mau pengungkapan kebenaran kalau soal mendengarkan korban saja gagal,” ungkapnya.
Menurutnya, penuntasan kasus HAM berat di jalur pengadilan dan luar pengadilan tak saling menegasikan. Untuk nonyudisial, sebagian dianggap memang perlu disegerakan agar korban ataupun keluarga mendapat pemulihan dan kompensasi. Korban dan keluarga juga perlu dilindungi atas kemungkinan terulangnya kekerasan. Namun, pengungkapan kebenaran tetap wajib dilakukan.
Di jalur yudisial perlu ada kesungguhan dari Kejaksaan Agung lantaran prosesnya selama ini tak mengalami kemajuan. Kejaksaan hingga kini belum juga membentuk tim penyidik ad hoc untuk menindaklanjuti kasus dari Komnas HAM. Walhasil, berkasnya hanya mondar-mandir di kedua lembaga itu.
“Mandatnya (jalur yudisial) ada di Kejaksaan Agung, tapi kita justru sering melihat kenyataannya masih jauh. Misalnya, mengenai banding atas kekalahannya (Jaksa Agung) di PTUN mengenai pernyataan soal Tragedi Semanggi. Walaupun hak hukum, itu menunjukkan betapa tidak seriusnya mengurusi HAM,” kata peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu.