SUDAH lebih dari sedekade Widia Hapsari rutin memelototi drama-drama Korea (drakor). Ia cukup loyal menikmati drakor tiap tahunnya. Sedari aksesnya susah hingga kini melimpah ruah dari platform streaming legal.
Perkenalan perempuan yang berprofesi sebagai penata rias tersebut dengan drakor, setidaknya sejak era Dae Jang Geum (2000-an awal). Sepanjang kurun itu, ia mencermati adanya perubahan konten, tidak lagi sekadar drama percintaan. Konten drakor kini dirasanya semakin eksploratif.
Hapsari mencontohkan, beberapa muatan konten drakor pada era belakangan, seperti judul Kill Me Heal Me (2015) berkisah tentang seseorang yang mengidap DID (kepribadian ganda). Atau, It’s Okay to Not be Okay, dan Another Miss Oh. “Ya... walaupun genre romcom, tapi juga menampilkan sisi berbeda tentang pekerjaan sound engineer. Dari segi visual juga jauh lebih baik,” kata Hapsari kepada Media Indonesia, Kamis (4/3).
Lain hal dengan Gita Swasti yang mulai intens dengan drakor sejak kerja di rumah pada tahun pertama pandemi covid-19. Meski baru aktif setahunan, ia cukup lahap. Setidaknya, tiap bulan ia sempatkan merampungkan dua judul drakor; asumsikan satu drakor berjumlah 16 episode dan berdurasi 70 menit tiap episodenya.
Gita mungkin baru memperhatikan drakor pada periode bekalangan. Meski begitu, dia punya pandangan mengapa konten asal Korea ini pantas mendatangkan gelombang pasang mata yang mau terus mengikuti. “Kualitas dramanya yang bagus. Seumurumur, baru September kemarin menghabiskan The World of the Married yang menurutku struktur ceritanya rapi banget, perkembangan karakter dari satu episode ke episode juga mulus,” sambung moviegoers yang berprofesi akuntan ini.
Drakor, sebagaimana musik K-Pop, memang menjadi bagian fenomena hallyu yang melanda dunia. Disampaikan Prof Kim dari International Studies of Korea University, hallyu yang bermakna harfiah korean wave, secara singkat ialah fenomena kultur pop Korea yang semakin mengglobal.
Hallyu mencerminkan bagaimana kultur pop Korea dapat diterima di banyak belahan dunia. Menjadi semacam tawaran alternatif bagi kekuatan hegemoni kultur pop Barat yang sudah lebih mapan.
Mengutip laporan yang dipublikasikan Media Partner Asia (MPA), berdasarkan data yang dihimpun AMPD Research, konten Korea berjaya di kawasan Asia Tenggara. Setidaknya di pasar utama ASEAN: Thailand, Indonesia, Singapura, dan Filipina.
Menurut data riset yang dihimpun selama 2020, di empat negara ASEAN, konten Korea menyumbang 34% dari waktu menonton streaming.
Lebih tinggi daripada konten AS yang hanya ada di urutan kedua dengan besaran 30%. Lalu, urutan selanjutnya diisi konten lokal 13% dan konten Jepang, 9%, yang kebanyakan adalah anime.....
- Home
- Category
- POLKAM
- FOKUS
- EKONOMI
- MEGAPOLITAN
- OPINI
- SUARA ANDA
- NUSANTARA
- HUMANIORA
- INTERNASIONAL
- OLAHRAGA
- SELEBRITAS
- EDITORIAL
- PODIUM
- SELA
- EKONOMI DIGITAL
- PROPERTI
- KESEHATAN
- OTOMOTIF
- PUNGGAWA BUMI
- BELANJA
- JENDELA BUKU
- WAWANCARA
- TIFA
- PESONA
- MUDA
- IKON
- MEDIA ANAK
- TRAVELISTA
- KULINER
- CERPEN
- HIBURAN
- INTERMEZZO
- WEEKEND
- SEPAK BOLA
- KOLOM PAKAR
- GARDA NIRBAYA
- BULAKSUMUR
- ICON
- REKA CIPTA ITB
- SETARA BERDAYA
- EDSUS HUT RI
- EDSUS 2 TAHUN JOKOWI-AMIN
- UMKM GO DIGITAL
- TEKNOPOLIS
- EDSUS 3 TAHUN JOKOWI-AMIN
- PROMINEN
- E-Paper
- Subscription History
- Interests
- About Us
- Contact
- LightDark
© Copyright 2020
Media Indonesia Mobile & Apps.
All Rights Reserved.