SALAH satu fenomena sosial Islam yang tampak di permukaan di Tanah Air saat ini ialah keterbelahan yang dikotomis, bahkan cenderung berkonflik, antara kalangan Islam konservatif dengan Islam liberal (Islam dalam arti sosiologis). Keterbelahan antara mereka semakin menjadi-jadi, bahkan sudah dalam tahap agak mengkhawatirkan (bisa memecah belah bangsa). Agaknya keterbelahan yang dikotomis itu dipengaruhi oleh keterbelahan sosial secara politik, yaitu posisi mereka sebagai kaum ‘kadrun’/’kampret’ versus ‘kecebong’, sebuah istilah yang kurang etis sesungguhnya.
Di satu sisi kalangan konservatif (salafi wahabis) misalnya, menyebut haramnya wayang, musik (keduanya telah berfungsi sebagai media dakwah), dan tenTu saja kalangan salafi (fundamentalis politis) memandang haram hal-hal yang berbau Barat. Misalnya demokrasi, bunga bank dan kapitalisme, sistem negara sekuler, dan negara bangsa. Bahkan, sebagiannya mengharamkan juga humanisme, dengan misalnya menyebut takutlah hanya kepada Allah, bukan pada covid-19.
Di sisi lain, sebagian kalangan Islam liberal (kaum progresif), bukan saja menolak klaim-klaim Islam konservatif di atas, melainkan sebagiannya antihadis. Padahal, hadis mutawatir (diriwayatkan oleh 10 perawi atau lebih) dan hadis ahad (kebalikan mutawatir) yang sahih disepakati ulama sebagai rujukan kedua setelah Al-Qur’an, oleh kalangan ulama Islam liberal sekalipun. Sebagian mereka, juga memandang salat hanya Tiga waktu, dan menolak syiar Islam di ruang pubik melalui pengeras suara sama sekali, demi kebebasan individual. Bahkan, sebagian mereka cenderung islamofobia dengan alergi terh....