INTERNASIONAL

Kaum Muda Meninggalkan Myanmar

Min, 21 Agu 2022

DIHADAPKAN dengan meningkatnya pengangguran, pembatasan kebebasan manusia, dan banyak ketidakpastian lainnya, banyak anak muda yang me­ninggalkan Myanmar dalam keadaan terkuras otak yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Masa depan kami tampak tidak pasti dan kami merasa benar-benar putus asa,” kata seorang anak muda, mewakili banyak orang.
Ko Aung Pyae dari Yangon pindah ke Jepang. Biaya yang meningkat, ketika nilai kyat anjlok, sangat merugikan kaum muda. Jepang, Korea Selatan, Dubai, Malaysia, dan Thailand ialah tujuan populer karena orang berharap untuk mengirim uang kembali ke ­keluarga mereka.
“Dulu saya berpenghasilan sekitar satu juta kyat sebulan, tetapi peng­hasilan saya menurun. Karena hidup semakin sulit, saya tidak punya pilihan lain selain meninggalkan negara ini,” kata Ko Aung Pyae.
Penduduk muda Yangon memadati jalan-jalan sebelum fajar pada ­tanggal 5 Agustus untuk mengajukan Tes ­Kecakapan Bahasa Jepang untuk ­belajar di universitas-universitas Jepang atau mencari pekerjaan.
Tes memiliki lima level, N5 hingga N1. Mereka yang ingin mendapatkan pekerjaan terampil harus lulus N3 sementara N5 membuka pintu untuk aplikasi visa pelatihan, yang menelan biaya sekitar 7 juta kyat (US$280) dan memungkinkan pelamar untuk me­rawat penduduk lanjut usia Jepang.
Dubai dan Korea Selatan sering lebih disukai daripada Jepang karena biaya yang lebih rendah.
“Hidup sulit di Myanmar bahkan dengan pekerjaan. Saya ingin bekerja di luar negeri dan mendapatkan lebih banyak uang,” kata Ko Zwe Mann, 25, kepada The Irrawaddy.
Dia awalnya berencana untuk ­bekerja di Jepang tetapi menyadari bahwa ujian bahasa akan memakan waktu satu tahun lagi sehingga dia sekarang berharap untuk bekerja di hotel Dubai.
Pria muda yang memiliki hak isti­mewa dan berpendidikan tinggi seperti Ko Aung Pyae dan U Zwe Mann dapat memilih Dubai, Jepang atau Korea ­Selatan, tetapi banyak lainnya memilih Thailand dan Malaysia, yang lebih ­murah dalam biaya agen dan memerlukan sedikit kualifikasi.
Sementara itu, para insinyur sering memilih Singapura.
Peluang kerja terampil runtuh di Myanmar, Organisasi Buruh Internasional melaporkan pada 1 Agustus.

Kehilangan pekerjaan
Diperkirakan 1,1 juta orang ke­hilangan pekerjaan sejak 2020 dan dikatakan kondisi kerja semakin tidak aman dengan pelanggaran berat terhadap hak-hak buruh.
U Peter Nyunt Maung, wakil ketua Federasi Agen Tenaga Kerja Luar ­Negeri Myanmar, mengatakan kepada The Irrawaddy, “Lebih banyak orang berpikir untuk bekerja di luar negeri karena kelangkaan pekerjaan. Pendapatan turun.”
Sekarang pandemi coronavirus ter­kendali, lebih banyak warga akan pergi untuk mencari pekerjaan di negara tetangga, katanya.
Antara kudeta Februari 2021 dan Desember tahun lalu, antara 60.000 dan 80.000 migran ditahan oleh pihak berwenang Thailand karena melintasi perbatasan secara ilegal. Sekitar 12.000 lainnya ditahan antara Januari dan April, menurut polisi perbatasan Thailand.
Antrean panjang terbentuk setiap hari untuk mengajukan paspor di kantor paspor Yangon di Yankin. Banyak yang mendaftar secara online dengan menunggu setidaknya tiga bulan.
Korea Selatan berencana untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja asing dan telah meningkatkan gaji pokok dari sekitar 9.000 won (US$6,80) menjadi 10.000 won per jam dalam upayanya untuk menghidupkan kembali ekonomi yang dilanda covid.
Korea Selatan mengatakan akan mempekerjakan lebih dari 9.000 migran dari Myanmar di bidang konstruksi, manufaktur dan pertanian setelah Tes Kecakapan Bahasa Korea EPS diadakan bulan ini. Setiap tahun, tes EPS menarik lebih dari 3.000 pelamar.
Namun, para migran dapat menghadapi pelanggaran hak-hak buruh dan pekerjaan berat saat mereka menyesuaikan diri dengan budaya yang berbeda dan makanan yang tidak dikenal.
“Meskipun kami mendapat gaji tinggi, para migran sering menghadapi intimidasi di tempat kerja. Saya telah menoleransi semua hal itu, mengatakan pada diri sendiri bahwa saya tidak dapat kembali,” kata Ma Myat Hsu, yang bekerja di sebuah hotel di Dubai. Dia sebelumnya bekerja dengan anak-anak prasekolah di Myanmar.
Dia berkata bahwa dia merasa ­rendah diri setiap kali masalah muncul di tempat kerja tetapi tahu bahwa masalah orang-orang lebih buruk di ­Myanmar. (The Irra....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement