POLKAM

Kelompok Remaja tidak Siap Hadapi Pemilu

Sab, 18 Jun 2022

PENDUDUK dengan rentang usia 17, 18, dan 19 tahun dianggap menjadi kelompok yang paling tidak siap menghadapi gelaran pemilihan umum. Fase kehidupan yang masih berkutat pada masa sekolah membuat mereka tidak peduli dengan dunia politik.

“Mereka tidak terlalu peduli dengan politik secara mendalam. Pengetahuan mereka masih dangkal karena memang belum waktunya untuk ke sana. Mereka belum berpikir masalah kebangsaan, infl asi, dan lapangan kerja,” ujar pakar psikologi politik Hamdi Muluk, Kamis (16/6).

Remaja itu pun tidak memahami apa dampak dari sebuah suara yang mereka berikan dalam perhelatan pesta demokrasi. Mereka belum memiliki nalar untuk berpikir ke depan, apa pengaruh yang ditimbulkan jika calon A memenangi kontestasi atau jika B yang terpilih jadi pemimpin bangsa ini.

Karena ketidakpahaman itu pula, dalam memutuskan pilihan, kelompok usia yang masuk ke generasi Z itu hanya akan mempertimbangkan dari segi ketenaran atau kesukaan terhadap calon. Mereka akhirnya memilih sosok yang mereka kenal, entah artis, atau bahkan hanya ikut-ikut pilihan temannya. Mereka ini yang paling tidak siap,” jelasnya.

Permasalahan inilah yang kemudian dianggap sebagai peluang yang tentu saja tidak boleh dilewatkan para tokoh politik, terutama yang berniat mengikuti kontestasi pesta demokrasi. Mereka berlomba-lomba menggaet para pemlih muda dengan terjun ke berbagai platform media sosial.

Instagram, TikTok, dan Youtube menjadi pegangan utama. “Instagram dan TikTok itu efektif untuk menjangkau orang-orang muda. Paling tidak untuk memperkenalkan diri ke kelompok remaja itu,” sambungnya.

Namun, tentu hanya mengandalkan media sosial saja tidak akan cukup. Hamdi mengungkapkan sebanyak 40% penduduk Indonesia hidup di daerah perdesaan yang kemungkinan besar masih awam dengan teknologi atau platform media sosial.

Untuk menggaet kelompok tersebut, cara-cara konvensional seperti memasang baleho, spanduk, mengadakan khitanan massal, dan bagi-bagi sembako masih sangat manjur. “Karena masyarakat di sana mungkin tidak main media sosial. Jangan dibayangkan kalau penggunaan baleho tidak ada lagi. Itu tetap kewajiban,” paparnya.

Kemudian, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana kualitas pemilu jika masyarakat terutama kaum muda hanya memilih pemimpin berlandaskan ketenaran atau kesukaan saja? Menurut Hamdi, itu menjadi tugas berat Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyosialisasikan betapa pentingnya memilih calon pemimpin yang benar.

“Setiap warga memang bertanggung jawab atas suara mereka. Namun, itu juga menjadi tugas, tanggung jawab KPU, untuk menjelaskan pentingnya melihat rekam jejak dan kualitas calon yang dipilih. Bagaimanapun, anak muda tidak boleh asal pilih,” terang Guru Besar Fakultas Psikologi UI itu.

Beranjak ke penduduk dengan rentang usia awal hingga pertengahan 20, Hamdi menganggap kelompok tersebut, meskipun masih tergolong dalam generasi Z, sudah memiliki nalar politik yang lebih dalam. Mereka sudah mengenal dunia perkuliah an dan berdiskusi tentang hal-hal kenegaraan.

“Ini sudah mulai agak politis. Mereka mulai tahu isu-isu publik. Apalagi, yang masuk jadi aktivis kampus. Mereka mulai kritis dengan isu korupsi dan lain lain,” tandasnya.

Adapun, untuk kelempok usia 25 tahun ke atas, Hamdi melihat mereka sudah paham betul dengan kondisi kenegaraan saat ini. Generasi milenial itu dianggap sudah memiliki bekal kuat untuk bisa menentukan pilihan mereka. Harapannya tentu untuk membawa situasi ekonomi ke arah yang lebih baik.


Pandangan berbeda

Pandangan berbeda diutarakan pakar psikologi Dicky Pelupessy. Ia sepaham dengan pemikiran bahwa kaum muda di rentang usia 17 hingga 19 tahun belum tertarik dengan dunia politik. Namun, kelompok itu sudah memiliki bekal kuat untuk bisa memperoleh informasi terkait pemilu dan kandidat- kandidat yang ikut berkompetisi.

Dicky memandang saat ini sebagian besar informasi sudah tersedia di banyak portal berita dan media sosial. Itu semua dapat diakses dengan mudah melalui gawai yang sejatinya adalah sahabat karib generasi Z.

“Dengan begitu, kita bisa asumsikan mereka bisa mengakses informasi apapun tentang kondisi saat ini, politik, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya,” papar Dicky.

Meski demikian, ia mengatakan sangu yang diperoleh dari dunia digital tentu tidak cukup. Seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pesta demokrasi seperti pemerintag, KPU, partai politik, harus melakukan terobosan-terobosan untuk menarik minat kaum muda terutama yang baru pertama kali akan masuk ke bilik pemungutan suara.

“Jika hanya mengandalkan website resmi KPU, siapa yang mau browsing ke sana? Kalaupun ada, angkanya pasti sangat-sangat kecil,” tuturnya.

Oleh karena itu, ia mendorong seluruh pemangku kepentingan terkait bisa hadir langsung di tengah-tengah anak muda, di tengah-tengah komunitas dan menyampaikan informasi langsung ke jantung mereka.

Contohnya di M Bloc (Jakarta Selatan). Itu kan dianggap sebagai tempat nongkrong kekinian. KPU bisa buat acara di situ, buat acara stand up comedy atau live music yang di dalamnya disisipkan informasi-informasi tentang pemilu. Intinya sampaikan informasi secara ringam dan menarik. Dengan begitu para pemuda akan....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement