TIDAK lama setelah usai salat Zuhur, tiba-tiba terdengar suara riuh dari depan masjid. Aku segera bangkit dari sujud setelah zikir kutuntaskan dengan ketergesaan. Di halaman masjid, kulihat Zamdani mencekal lengan seorang laki-laki separuh baya dengan kasar.
“Dia pencuri celengan masjid kita selama ini!” teriak Zamdani dengan lantang, penuh emosi.
Karena ini hari pertama Ramadan, para jemaah salat Zuhur yang hampir memenuhi masjid segera berkerumun mengitari Zamdani dan laki-laki tersebut. Laki-laki itu bertubuh kurus. Raut mukanya pucat. Entah karena perutnya kosong atau karena dikerumuni begitu banyak orang. Tapi, sungguh aku tidak sampai hati melihat Zamdani mempertontonkannya seperti itu.
Tidak lama, Imam Burhanudin, pengurus masjid kami, menerobos kerumunan. “Zamdani, apa yang terjadi?” tanyanya.
“Ini pelaku pencuri kotak amal kita selama ini, Pak Imam!” jawab Zamdani.
Imam Burhanudin terdiam sembari memandang laki-laki di sebelah Zamdani tersebut. Wajahnya tampak lelah dan bibirnya berdarah. Mungkin dipukul Zamdani.
“Kenapa kamu mencuri? Apalagi di bulan suci, bulan Ramadan, saat semua umat muslim tengah berlomba mencari keberkahan,” ujar Imam Burhanudin perlahan.
Laki-laki itu tidak menjawab. Alih-alih, ia memandang ke arah Zamdani dengan penuh kecemasan.
“Jawab!” hardik Zamdani sambil menarik kerah baju laki-laki itu.
“Jangan bertindak kasar, Zamdani. Ini Ramadan dan kita sedang di rumah Tuhan,” sela Imam Burhanudian.
“Maaf, Pak Imam, saya emosi karena hilangnya celengan masjid kita selama ini ternyata gara-gara orang ini,” kata Zamdani.
“Jangan main tuduh. Ramadan mengajarkan kita kesabaran. Kita harus bisa menahan diri dari kemarahan,” suara Imam Burhanudin kali ini agak keras.
“Bawa dia ke dalam masjid,” pintanya kemudian.
***.
Sudah dua bulan ini kotak amal milik Masjid Taqwa di kampungku raib dicuri orang. Kejadiannya sudah tiga kali.
Bukan kotak amal yang besar. Yang besar hanya ada satu. Diletakkan pada barisan pintu masuk masjid bagian depan. Karena posisinya itu, pengurus masjid memakai kunci gembok serta mengikatnya dengan sebuah rantai yang dililitkan ke tiang masjid dengan harapan kotak amal itu tidak dicuri orang.
Yang hilang adalah kotak-kotak amal yang kecil, yang biasanya diedarkan seusai salat. Jumlahnya ada dua puluh, atau paling tidak, tadinya dua puluh.
Biasanya, kami membuka kotak amal yang kecil-kecil itu seminggu sekali di ruang imam. Jika isi kotak amal itu penuh, jumlahnya bisa mencapai satu juta. Terkadang lima ratus ribuan.
Hilangnya kotak amal yang berukuran kecil itu tidak terjadi di dalam ruang imam masjid, tetapi selalu setelah kotak amal itu diedarkan ke jemaah seusai salat. Aku dan pengurus masjid yang lain tidak tahu bagaimana caranya kotak amal itu bisa hilang dan siapa yang mencurinya. Mungkin jumlah pengurus masjid yang sedikit membuat kami tidak bisa memantau keadaan.
Ya, pengurus Masjid Taqwa sampai hari ini hanya berjumlah enam orang beserta Imam Burhanudin. Ada Zamdani yang bertugas sebagai muazin sekaligus bagian kebersihan di dalam masjid. Sabir dan Usman bertanggung jawab di bagian sekitar lingkungan halaman masjid. Lalu, ada Budiman sebagai sekretaris masjid, dan aku, si Sahrul, juru ketik.
“Minggu depan kita akan rapat untuk menambah anggota kepengurusan,” ujar Imam Burhanudin selepas salat Isya, pekan lalu. Saat itu, ia mengumpulkan kami setelah kotak amal hilang untuk yang ketiga kalinya.
“Kita butuh anggota yang bersedia mengurusi keberadaan kotak amal di masjid. Apalagi memasuki Ramadan nanti, jemaah pasti bertambah. Kita tidak ingin sedekah jemaah raib,” lanjut Imam Burhanudin.
“Tapi, Pak Imam, mencari orang baru yang bisa dipercaya juga tidak mudah. Salah-salah nanti malah membuat masalah. Baiknya kita tingkatkan kewaspadaan dan memperhatikan setiap gerak yang mencurigakan,” sela Zamdani.
“Saya rasa kita memang butuh anggota tambahan. Ramadan ini jumlah jemaah pasti membeludak setelah tahun lalu kita tidak leluasa beribadah di masjid,” sahut Budiman.
Kulihat Zamdani tidak menyahut kecuali hanya memilin-milin janggut di dagunya yang lancip. Hanya beberapa menit berselang, Imam Burhanudin berkelakar, “Taklah karena uang salat kita menjadi batal. Jadi, penambahan anggota kepengurusan itu mutlak akan kita lakukan.”
***
Zamdani masih mencekal lengan kiri laki-laki itu. Di jemari tangan kanan laki-laki itu melekat sebuah kotak amal kecil dengan cat putih yang memudar. Ada tulisan ‘Masjid Taqwa’ di bagian atasnya.
Di dalam masjid, Imam Burhanudin menyuruh laki-laki itu duduk di lantai. Sejumlah jemaah masih mengerumuninya, tapi Imam Burhanudin memerintahkan Sabir untuk membubarkan para jemaah itu.
“Ini buktinya, Pak Imam, kotak amal masjid kita ada padanya,” kata Zamdani.
“Aku tidak pernah melihat orang ini. Wajahnya asing,” kata Imam Burhanudin. ”Apa kalian ada yang mengenali?” tanyanya kepada kami.
“Tidak, Pak Imam. Ia orang asing. Mungkin juga tidak waras. Sedari tadi cuma tampak kebingungan,” jawab Sabir.
Aku mengangguk-angguk kepala, sependapat dengan Sabir.
“Baiklah. Kalau begitu, sekarang kita ke ruanganku. Kita lihat rekaman CCTV,” ujar Imam Burhanudin membuat kami tersentak.
“Pak Imam, memangnya kita punya CCTV?” Tanyaku bingung. Bukan hanya aku, kulihat Sabir dan yang lain juga tampak heran. Zamdani malah sampai melongo, lupa mengatupkan bibirnya.
“Hasan yang mengusulkan kita pasang CCTV dulu sebelum kita mencari anggota baru. Dia juga yang memasangnya,” jawab Imam Burhanuddin.
Pikiranku melayang ke dua hari lalu ketika melihat putra sulung Imam Burhanuddin tersebut malam-malam datang membawa tentengan ke ruang imam. Kupikir, saat itu ia sekadar hendak bertemu ayahnya.
“Bawa ia ke ruanganku,” kata Imam Burhanudin memecah lamunanku.
Kami lalu beranjak ke ruangan imam.
“Hei, Zamdani, ayo bawa dia,” tegur Imam Burhanudin.
Aku menengok ke belakang dan melihat Zamdani masih seperti orang linglung.
Perlahan Zamdani menarik lengan laki-laki pencuri kotak amal tersebut. Wajahnya , entah mengapa, tidak lagi garang.
***
Ternyata benar, di meja di pojok ruangan imam itu kini sudah ada sebuah layar monitor kecil. Aku tidak paham dan tidak mengerti bagaimana caranya Imam Burhanudian mengoperasikan alat itu. Yang kulihat, di layar itu, ada gambar-gambar kecil beberapa bagian masjid, ada juga gambar pekarangan.
“Aku akan putar rekaman hari ini. Semoga terlihat oleh CCTV,” jelas Imam Burhanudin sambil memencet-mencet kibor di dekat monitor tersebut.
Semua kami terdiam. Penuh debar.
Di monitor, terlihat suasana kusyuk salat Zuhur. Terlihat juga situasi halaman masjid yang sepi. Tidak tampak aktivitas apa pun yang mencurigakan. Bahkan laki-laki separuh baya itu tidak pernah terlihat di layar monitor.
Beberapa menit kemudian, setelah usai Imam Burhanudian mengucapkan salam, terlihat seseorang dengan cepat memutar tubuh ke belakang. Aku tersentak dan kaget. Sabir juga. Usman memegang pundakku seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di layar monitor terlihat sosok berdagu lancip yang amat kami kenal dengan gesit menenteng satu kotak amal sembari bergegas ke luar masjid.
Kami semua berpaling, mencari Zamdani. Tidak kami sadari, Zamdani telah meringsut ke pojok ruangan imam. Wajahnya kini lebih pucat daripada lelaki separuh baya yang tadi diteriakinya. Putih, seolah malaikat pencabut nyawa telah menghampirinya. (Banda Aceh, September 2021)
Farizal Sikumbang lahir di Padang dan bermukim di Banda Aceh.
- Home
- Category
- POLKAM
- FOKUS
- EKONOMI
- MEGAPOLITAN
- OPINI
- SUARA ANDA
- NUSANTARA
- HUMANIORA
- INTERNASIONAL
- OLAHRAGA
- SELEBRITAS
- EDITORIAL
- PODIUM
- SELA
- EKONOMI DIGITAL
- PROPERTI
- KESEHATAN
- OTOMOTIF
- PUNGGAWA BUMI
- BELANJA
- JENDELA BUKU
- WAWANCARA
- TIFA
- PESONA
- MUDA
- IKON
- MEDIA ANAK
- TRAVELISTA
- KULINER
- CERPEN
- HIBURAN
- INTERMEZZO
- WEEKEND
- SEPAK BOLA
- KOLOM PAKAR
- GARDA NIRBAYA
- BULAKSUMUR
- ICON
- REKA CIPTA ITB
- SETARA BERDAYA
- EDSUS HUT RI
- EDSUS 2 TAHUN JOKOWI-AMIN
- UMKM GO DIGITAL
- TEKNOPOLIS
- EDSUS 3 TAHUN JOKOWI-AMIN
- PROMINEN
- E-Paper
- Subscription History
- Interests
- About Us
- Contact
- LightDark
© Copyright 2020
Media Indonesia Mobile & Apps.
All Rights Reserved.