PANDEMI covid-19 yang berlangsung lebih dari setahun hingga sekarang telah menambah pekerjaan rumah. Tidak saja masalah kesehatan dan ekonomi yang merosot, limbah medis yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) menjadi menumpuk di manamana.
Limbah yang semestinya diproses khusus itu kini mu dah di temui di mana-mana. Tidak saja di tempat pembuang an akhir (TPA), masker, sarung tangan bekas, alat suntik, selang, dan bekas botol obat-obatan mudah ditemukan di sungai, laut, lahan-lahan kosong, hingga di areal pinggir ja lan umum.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat dalam periode 19 Maret 2020 sampai 4 Februari 2021 telah terdapat 6.417,95 ton timbulan limbah medis dari covid-19. Keberadaannya terbanyak berada di DKI Jakarta dengan 4.630,86 ton. Maklum, daerah Ibu Kota mengakumulasi kasus paling tinggi di Indonesia.
Angka itu belum termasuk limbah medis yang dihasilkan dari proses vaksinasi covid-19 yang telah dimulai pada Januari 2021 dan ditargetkan untuk 181 juta orang. Penambahan jumlah limbah medis dipastikan akan terjadi lagi.
Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat tingginya limbah medis ke se luruhan (yang berkaitan dengan covid-19 dan bukan) selama pandemi hingga Februari tercatat, ada 12.785 ton lebih yang mereka tangani.
Beruntung DKI Jakarta yang dari awal pandemi sudah menangani limbah infeksius dari rumah tangga. Hal itu dilakukan agar sampah medis bisa ditangani dengan baik dan menghindari potensi penularan covid-19.
Berbeda dengan di Bandar Lampung, pembuangan limbah medis ke TPA telah terjadi berbulan-bulan. Tentu ini tidak bisa dibenarkan. Hingga Pemkot Lampung memberinya solusi dengan membangun fasilitas pengelolaan limbah B3. Kesadaran pengelola fayankes dan masyarakat dinilai jadi penyebab limbah medis masih berserakan di mana-mana.
Di sisi lain, tidak semua rumah sakit atau pemerintah daerah memiliki insinerator untuk mengolah limbah medis sesuai standar lingkungan dan kesehatan.
Selain itu masih sedikit pihak swasta yang bergerak di bidang usaha pengelolaan sampah. Kalau ada itu banyak yang masih berada di Pulau Jawa. Pembuangan limbah medis tidak pada tempatnya dikhawatirkan ikut mempercepat penyebaran virus korona.
Temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) cukup menggambarkan betapa pengelolaan limbah medis di Tanah Air masih amburadul. Pada saat investigasi tim ORI menjumpai adanya limbah medis yang dibawa dengan alat angkut tidak sesuai standar.
“Misalnya mengangkut limbah medis menggunakan ambulans, ojek online, atau kendaraan yang tidak dilengkapi dengan simbol,” ungkap anggota tim peneliti, Mory Yana Gultom, saat konferensi pers belum lama ini.
Temuan lainnya ialah ada fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang tidak menyediakan alat angkut khusus serta jalur khusus bagi limbah medis. Ombudsman juga menemukan, tidak ada jadwal pengangkutan limbah medis secara rutin. Hal itu dilakukan fasyankes untuk menekan biaya.
Lebih parah lagi, Ombudsman menemukan ada daerah yang tidak memiliki pengangkut limbah medis sama sekali sehingga hanya sampai pada tahap penyim panan.
Upaya penyadaran untuk mengelola limbah medis sesuai standar pun sebenarnya tak kurang sudah dijalankan Kementerian Kesehatan. Menurut Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes Vensya Sitohang selama ini penanganan limbah medis sudah dilakukan, namun menjadi lebih diperhatikan selama pandemi dan vaksinasi covid-19.
“Limbah medis bisa diolah fasyankes yang memiliki peralatannya yaitu alatnya harus berizin dari KLHK. Namun, di era pandemi ini yang belum berizin diberikan diskresi untuk digunakan,” kata Vensya.
Lemahnya pengelolaan limbah medis tersebut juga diakui Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy pada kesempatan berkunjung ke Mojokerto, Jawa Timur, belum lama ini. Dia mengakui bahwa pengelolaan limbah medis di dalam negeri belum optimal dan masih harus menghadapi banyak tantangan, mulai dari regulasi hingga pembiayaan.
“Mulai dari aspek regulasi, kapasitas pengolahan, peran pemerintah daerah, koordinasi antarlembaga, sumber daya manusia (SDM), sarana prasarana, perizinan, peran swasta, dan pembiayaan,” ujar Muhadjir, dikutip dari situs Kemenko PMK.
Muhadjir menambahkan masalah sampah medis menjadi persoalan serius yang harus segera ditangani apalagi selama pandemi covid-19 terjadi penambahan yang sangat signifikan.