CERPEN

Luka

Min, 08 Mei 2022

SERBUK subuh mulai tercium ketika kamu muncul di ambang pintu penginapan. Di latarmu langit nyaris merah. Rambut panjangmu masai, tapi kamu masih terlihat sehangat musim semi yang menumbuhkan pucuk-pucuk stroberi. Lonceng angin bergemerincing ketika kamu berkata, “Kupikir kamu sudah mati. Ponselmu tak bisa kuhubungi berhari-hari. Media sosialmu hangus tak terlacak. Jadi, kamu yang dihadapanku ini hantu atau bukan?”

Mobil hitammu masih menggeram di belakang. Pasti kau langsung melompat keluar tanpa sempat mematikan mesin. Aku tak tahu harus sedih atau bahagia melihatmu. Sudah tiga tahun kita berjeda jarak. Aku di sini, tepi Sanur yang hangat, dan kamu di lereng Panderman, yang sejuk dan senyap. Pasti kamu telah mengarungi ratusan menit yang tak mudah, melewati gunung-gunung, jalan bebas hambatan, dan setengah jam memintas laut dengan feri yang membuatmu mual.

“Teh hangat?” ucapku sambil mundur dan memberimu jalan. Kusadari kakiku masih telanjang tanpa sandal karena terburu-buru menyambutmu. Alih-alih menjawab, kamu menggeleng. “Jawab dulu! Kenapa kamu menghantu? Tiga bulan lagi kita menikah, dan kita tak pernah main petak-umpet semacam ini.” Kuharap senyumku bisa menjinakkannya, tetapi sepertinya tak berhasil. “Kita bicara di dalam? Dekat pantai?” Kamu memejamkan mata sekejap, berbalik badan, memarkir mobilmu di bawah kamboja, lalu kembali dengan ramb....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement