INTERMEZZO

Memaknai Almarhum

Min, 16 Mei 2021

PADA suatu malam di bulan Ramadan, seorang ustaz berceramah di masjid kami mengenai kehidupan di dunia yang penuh tipu daya. Salah satunya mengenai kecenderungan manusia yang haus akan gelar di dalam kehidupannya. Dikejarnya semua gelar itu dengan penuh keseriusan. Dia korbankan waktu, tenaga, dan akal pikirannya.

Akan tetapi, ternyata gelar yang paling tinggi didapat manusia dalam kehidupannya ialah gelar almarhum. Sebab, setelah almarhum, tidak ada gelar lagi untuknya di dunia ini. Semua manusia, baik yang berpangkat tinggi atau yang tak memiliki pangkat sekalipun saat hidupnya, akan sama-sama memperoleh gelar almarhum di ujung hidup mereka.

Istilah almarhum berasal dari bahasa Arab. Kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia secara utuh menjadi almarhum. Bahkan, bahasa Indonesia juga menyerap kata almarhumah untuk sebutan almarhum untuk perempuan. Penggunaan unsur –ah yang menunjukkan bentuk perempuan dalam bahasa Arab tetap diserap utuh ke dalam bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Indonesia, kata almarhum mengalami pergeseran makna dari bahasa asalnya. Dalam bahasa Arab, kata almarhum yang berasal dari kata ra-hi-ma (mengasihi) mengandung makna doa untuk seorang muslim yang telah wafat, yakni ‘orang yang dikasihi atau orang yang dirahmati Allah’.

Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia (juga dalam bahasa Melayu pada umumnya), kata almarhum dijadikan semacam ‘gelar khusus’ yang diberikan untuk orang yang sudah mati. Memang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi kata almarhum masih dianggap sebagai doa dengan penulisan arti ‘yang dirahmati Allah (sebutan kepada orang Islam yang telah meninggal)’.

Akan tetapi, terdapat pula definisi lainnya yakni ‘yang telah meninggal; mendiang; kata untuk menyebut orang yang telah meninggal’. Inilah yang dianggap telah terjadi pergeseran makna dalam kata almarhum, yang tadinya bermakna doa menjadi hanya sebuah ‘gelar khusus’ kematian.

Meskipun telah terjadi perubahan makna, kata almarhum dan almarhumah tetap dianggap sebagai doa untuk orang yang telah meninggal, khususnya untuk orang Islam.

Penggunaan kata almarhum sendiri pernah pula menjadi perdebatan di kalangan umat Islam Indonesia. Sebagian menganggap tidak boleh menyebutkan kata almarhum (‘yang dirahmati Allah’) karena penyebutan itu memastikan bahwa orang yang meninggal tersebut telah mendapat rahmat dari Allah. Padahal ampunan dan rahmat itu urusan Allah, hal yang bersifat gaib. Penyebutan yang tepat untuk seorang muslim yang meninggal ialah rahimahullah (‘semoga Allah merahmatinya’). Akan tetapi, pada akhirnya sebagian besar ulama sepakat tidak mengapa menggunakan kata almarhum asalkan diniatkan untuk mendoakan muslim yang meninggal, bukan untuk meyakini bahwa yang meninggal pasti telah dirahmati Allah.

Di masa kini, penggunaan kata almarhum ada pula yang dilekatkan kepada orang nonmuslim yang sudah meninggal. Pernah pula terdengar dalam acara berita di televisi, penyebutan seorang tokoh nonmuslim dengan kata almarhum di depan namanya. Dalam perkara ini ada sebagian masyarakat yang menganggap hal itu tidaklah tepat karena kata almarhum masih dianggap sebagai doa yang dikhususkan untuk muslim yang meninggal. Jadi, idealnya menurut mereka, kita tidak menggunakan kata almarhum kepada saudara nonmuslim yang telah meninggal. Kata mendiang dianggap cukup tepat digunakan karena tidak memiliki tendensi terhadap agama tertentu alias netral.

Meski demikian, jika ada saudara kita dari kalangan nonmuslim tetap menggunakan kata almarhum kepada sosok nonmuslim yang meninggal dunia, tentu saja hal tersebut tidak menjadi masalah karena itu hanyalah faktor pil....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement