POLKAM

NU dan Muhammadiyah Diharapkan Tetap Menjauh dari Politik Praktis

Sab, 20 Agu 2022

DAYA tarik dua organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, memikat para kandidat yang berkontestasi menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam pemilihan umum (pemilu) untuk mendekat. Saat menjelang Pemilu 2024, beberapa calon berharap mendapatkan dukungan dari dua ormas tersebut. Tujuannya ialah meraih suara dari warga NU atau Nahdiyin ataupun Muhammadiyah yang jumlahnya tidak sedikit.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, misalnya, tidak segan menyebut dirinya berlatar belakang NU. Ia berencana mencalonkan diri menjadi presdien menggunakan kendaraan politik PKB. Meski demikian, sinyal itu direspons Ketua Pengurus Besar NU (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dengan tegas. Gus Yahya meminta agar siapa pun kandidat presiden dan wakil presiden tidak membawa identitas agama, termasuk nama NU.

“Kita ingin semuanya terus bersatu, terus harmonis. Kompetisi yang akan berlangsung sekeras apa pun, kita berharap dalam kompetisi nanti jangan sampai ada cara-cara yang memperalat identitas sebagai senjata,” ucap Gus Yahya ketika menghadiri Peringatan 10 Tahun Forum Pemred, di Jakarta, Jumat (5/8).

Sebuntu apa pun para kontestan dalam menonjolkan atau dalam menghadapi kompetisi pemilu dengan tegas Gus Yahya meminta agar mereka tidak menggunakan identitas agama sebagai senjata untuk meraup suara. Gus Yahya bahkan sempat berkelakar bahwa Muhammadiyah jauh lebih beruntung bisa menjaga jarak dari politik praktis jika dibandingkan dengan NU.

“Kita mohon betul supaya jangan menggunakan identitas sebagai senjata, apakah identitas etnik, agama, termasuk identitas NU. NU agak kurang beruntung jika dibandingkan dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah bisa dengan bebas mengambil jarak dari kompetisi semacam ini (pemilu), NU mau lari pun dikejar-kejar,” ucapnya.

Gus Yahya pada kesempatan berbeda sempat menyampaikan, hal itu berlaku bagi semua partai, bukan hanya PKB. NU, menurut nya, perlu mengambil sikap tegas. “Kalau kita biarkan terus begini, tidak sehat,” kata Gus Yahya.

Tidak hanya sekali Gus Yahya mengambil sikap tegas dan meminta pengurus NU untuk menjauhi kepentingan politik praktis. Pada awal 2022, Gus Yahya sempat memanggil dua Pengurus Cabang NU Sidoarjo dan Banyuwangi yang diduga mendukung salah satu kandidat yang ingin mencalonkan sebagai presiden untuk pemilu mendatang. PBNU memberikan teguran secara lisan atas kejadian tersebut.


Jaga jarak

Pengajar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan tidak bisa dimungkiri bahwa PKB merupakan partai politik yang lahir dan didirikan oleh para kiai NU. Menurutnya, Pemilu 2024 menjadi ujian bagi NU untuk konsisten dan menjaga diri tidak berpolitik praktis. Sikap yang ditunjukkan oleh Gus Yahya, ujarnya, sudah tepat.

“Sudah tepat NU menjaga jarak dari politik praktis, sumber kekuasaan. NU bukan partai politik. NU memang melahirkan PKB, tetapi jangan sampai NU berperilaku seperti partai,” tutur Ujang ketika dihubungi, Selasa (16/8).

Lebih lanjut, ia mengatakan, sejak pemilihan langsung pada 2004, ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah menjadi magnet tersendiri bagi para capres dan cawapres. Oleh karena itu, saat menjelang pemilihan, terang Ujang, para calon berkunjung atau sowan untuk mendapatkan restu dari para kiai NU atau tokoh Muhammadiyah. “Kalau elitenya sudah dipegang, harapannya bisa mendukung. Pada Pemilu 2019, Presiden Joko Widodo juga datang ke NU dan Muhammadiyah, termasuk Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan lawannya Sandiaga Uno,” terang Ujang.

Namun, fakta di lapangan, menurut Ujang, banyak tokoh NU yang akhirnya berpolitik. Tokoh NU disebut hampir selalu mewarnai perpolitikan Indonesia. “Tapi jangan sampai secara institusional atau kelembagaan NU ditarik ke ranah politik. Itu tidak bagus,” papar Ujang.

Ormas, terang Ujang, berfungsi sebagai kekuatan masyarakat sipil untuk meluruskan atau mengawasi pemerintah. Apabila ormas itu terlibat politik praktis, tak banyak yang bisa dilakukan ormas untuk rakyat.

“Jika pemerintah membuat kebijakan yang tidak prorakyat, ormas tidak bisa mengkritik atau mengingatkan pemerintah,” tuturnya.

NU, ujar Ujang, bisa berpolitik, tetapi tetap menjaga jarak dengan kekuasaan. Ujang melihat Pemilu 2024 menjadi ujian bagi NU.

Di sisi lain Muhammdiyah disebut cukup beruntung dapat menghindari tarikan kekuatan politik. Meskipun demikian, ada tokoh Muhammadiyah yang terlibat mendirikan partai politik, seperti Din Syamsuddin menjadi inisiator Partai Pelita dan Amien Rais ketika mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) dan sekarang Partai Ummat.

Ujang mengatakan hanya sedikit dari tokoh-tokoh Muhammadiyah yang terjun ke politik atau mendapatkan jabatan di pemerintahan. Menurut Ujang, Muhammadiyah leluasa bekerja untuk umat tanpa diganggu politik prak....

Belum selesai membaca berita ini ? Selesaikan dengan berlangganan disini Berlangganan

Advertisement

Advertisement