DARI Kawasan Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat, yang menjadi salah satu pusat pembuatan ondel-ondel di Jakarta, siang itu selepas azan Zuhur, sepasang ondel-ondel mulai dipersiapkan berikut alat-alat musik pendukung. Satu per satu semua kebutuhan ditata, sepasang ondel-ondel diikat rapi di atap angkot sewaan yang akan mengantar jemput ke suatu tempat tujuan mengamen. Hari itu tujuan ngamen mereka di Kawasan Cililitan hingga permukiman penduduk di Kawasan Halim.
Menengok ke belakang, dalam tradisi Betawi ondel-ondel memang digunakan sebagai sarana mengamen. Pemain ondel-ondel keliling kampung untuk mengusir bala, kemudian mendapat imbalan dari warga.
Biasanya pihak yang menghelat hajatan, seperti pernikahan, sunatan, atau peresmian gedung, memanggil ondel-ondel demi tujuan mengusir bala atau nasib buruk. Rombongan ondel-ondel dengan alat musik tradisional, seperti rebab kemudian mendapat imbalan bayaran dari ‘shohibul hajat.’
Zaman berubah, keberadaan ondel-ondel yang paling sering tampil di ulang tahun Kota Jakarta, pernikahan, peresmian tempat tinggal baru, atau upacara lain yang dipercaya bisa mengusir bala, kini hampir setiap hari di jalan-jalan, pemukiman warga, dan tempat-tempat kuliner ditemukan ondel-ondel yang diarak sekelompok pengamen untuk sekadar mendapatkan uang recehan.
Alasan kebutuhan ekonomi dan sepinya order hajatan membuat segelintir orang terpaksa memanfaatkan ikon Jakarta atau yang dulunya disebut barongan untuk mengamen sebagai sumber uang, dengan mengindahkan fungsi dan nilai yang terkandung di dalamnya.
Penggunaan ondel-ondel mengalami pergeseran pada era modern sampai sekarang menjadi sarana mengamen. Nasib warisan budaya Betawi menjadi tidak jelas, terlebih saat wadah untuk menampilkan ondel-ondel sangat sedikit.
Namun, meski keberadaan pengamen ondel-ondel dinilai mengganggu dan meresahkan, setidaknya pengamen yang menggunakan ondel-ondel tet....