PENGELOLAAN sampah di Indonesia kebanyakan masih menerapkan sistem open dumping. Sistem tersebut memang berbiaya paling murah, tetapi risiko yang dibayar sangat mahal. Tragedi kelam longsornya sampah terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi Selatan, Cimahi, pada 21 Februari 2005, yang menewaskan lebih dari 40 jiwa seharusnya menjadi titik balik perbaikan pengelolaan sampah. Kejadian itu mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, hampir dua dekade setelah peristiwa itu, tantangan pengelolaan sampah di Indonesia masih belum sepenuhnya teratasi. Banyak TPA overkapasitas. Peneliti dari Pusat Lingkungan dan Teknologi Bersih (PRLTB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Sri Wahyono mengungkapkan TPA di Indonesia masih berstatus open dumping dengan banyak yang sudah overkapasitas atau overload membawa risiko besar. Mulai pencemaran lingkungan, kebakaran akibat gas metana, hingga potensi longsor seperti yang terjadi pada masa lalu. Bahkan, TPA dinilai menjadi salah satu penyumbang terbesar gas rumah kaca secara global.
“Kalau kita lihat di banyak daerah itu, di depan mata kita umumnya adalah open dumping. Itu kita alami saat ini. Tingkat layanan pengangkutan sampah juga masih rendah, setara 40%, sehingga sampah bocor ke laut, ke perairan, ke lahan kosong, dan sebagainya,” ujar Sri Wahyono.
Ia juga menyoroti bahwa krisis tersebut tidak hanya berdampak secara lokal, tetapi juga global. “TPA di Indonesia ternyata, kalau dari isu global, itu nomor enam penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia,” tegasnya.