MENTERI Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mendapat sorotan publik seusai meluapkan kemarahan ketika rapat bersama pejabat Provinsi Gorontalo terkait dengan distribusi ban tuan sosial. Kemarahan Risma disebabkan pernyataan pendamping Program Keluarga Harapan yang menyebut Kementerian Sosial telah mencoret data penerima bansos.
Kemarahan Risma sebagai bola salju permasalahan yang terjadi di tatanan akar rumput. Terlebih lagi dua mensos sebelumnya —Idrus Marham dan Juliari Batubara— berlaku korup. Kemarahan Risma bisa dinilai sebagai kekesalan akibat tidak sinkronnya program dan implementasi lapangan. Kemarahan itu bisa juga berarti sebagai ko munikasi korektif di jajaran bi rokrasi agar lebih sigap.
Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan Risma bisa menyampaikan kekecewaan nya dengan gaya yang baik. “Istilah saya dipoles, substansi Risma bagus, tapi pilihan diksi dan bahasa nonverbalnya perlu diperbaiki sekalipun tujuannya baik,” terang Emrus.
Aksi marah-marah Risma sudah berulang kali terjadi saat menjabat menteri sosial. Ia pernah memarahi aparatur sipil negara (ASN) Kemensos di Balai Wyataguna, Kota Bandung, dan mengancam ASN tersebut agar dipindahtugaskan ke Papua.
Sontak, pernyataan Risma tersebut menuai kritik dari sejumlah aktivis HAM. Pernyataan Menteri Sosial itu dinilai mengandung rasialisme. Cara berpikir Risma sebagai pejabat publik itu disebut mirip perspektif kolonial yang menjadikan Papua sebagai tempat pembuangan politik.
Menurut Emrus, ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk memahami gaya komunikasi Risma. Pertama, pendekatan objektif. Jika melihat cara Risma marah di Gorontalo, hal itu tidak terlalu pas dengan norma, etika, dan kebiasaan di masyarakat.
Sebagai masyarakat yang menganut norma dan etika, rasa ma rah sebaiknya tidak disam paikan secara terbu ka, apalagi bisa men jatuhkan harga diri orang yang dimarahi.
“Dari sudut itu tampaknya tidak begitu pas, misalnya, memarahi orang, ada orang lain. Alangkah baiknya itu dilakukan di ruang privat secara empat mata sebab kita tidak boleh menjatuhkan har ga diri orang di depan orang lain. Apa yang dilakukan Bu Risma tidak pas,” terang dia.
Namun, kalau dilihat dari pende katan kritis, Emrus menilai hal yang dilakukan Risma ialah mendobrak kemapanan birokrasi. Birokrasi selama ini dianggap menyulitkan masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai pernyataan Risma soal Papua mengandung unsur rasialisme. “Ini adalah pola pikir yang sesat dari seorang pejabat dalam memperlakukan Papua,” kata Usman.
Meskipun Risma berniat mencitrakan diri peduli masyarakat, kata Usman, ancaman memindah kan pegawai ke Papua jelas mengandung pesan yang keliru dan tidak akan mendukung penyelesaian konflik.
“Risma harus sadar bahwa sebagai pejabat publik, ia sangat disorot dan pernyataan seperti itu sangat melukai perasaan saudara-saudara di Papua,” tegasnya.
- Home
- Category
- POLKAM
- FOKUS
- EKONOMI
- MEGAPOLITAN
- OPINI
- SUARA ANDA
- NUSANTARA
- HUMANIORA
- INTERNASIONAL
- OLAHRAGA
- SELEBRITAS
- EDITORIAL
- PODIUM
- SELA
- EKONOMI DIGITAL
- PROPERTI
- KESEHATAN
- OTOMOTIF
- PUNGGAWA BUMI
- BELANJA
- JENDELA BUKU
- WAWANCARA
- TIFA
- PESONA
- MUDA
- IKON
- MEDIA ANAK
- TRAVELISTA
- KULINER
- CERPEN
- HIBURAN
- INTERMEZZO
- WEEKEND
- SEPAK BOLA
- KOLOM PAKAR
- GARDA NIRBAYA
- BULAKSUMUR
- ICON
- REKA CIPTA ITB
- SETARA BERDAYA
- EDSUS HUT RI
- EDSUS 2 TAHUN JOKOWI-AMIN
- UMKM GO DIGITAL
- TEKNOPOLIS
- EDSUS 3 TAHUN JOKOWI-AMIN
- PROMINEN
- E-Paper
- Subscription History
- Interests
- About Us
- Contact
- LightDark
© Copyright 2020
Media Indonesia Mobile & Apps.
All Rights Reserved.