SETIAP ada penangkapan atas hakim, perih terasa selalu berganda. Jika yang ditangkap adalah politisi dan pejabat pemerintahan, tentu buruk, tetapi tidaklah semenyesakkan jika yang tertangkap adalah hakim. Apalagi jika itu adalah hakim agung atau hakim konstitusi yang menjadi puncak pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Mengapa? Sederhananya, politisi dan parlemen misalnya memang selalu memegang posisi paling korup di berbagai belahan dunia. Survei Global Baromoter Corruption (GBC), misalnya, sudah sejak lama selalu menempatkan bahwa anggota legislatif dan pemerintahan daerah sebagai pemegang posisi juara dalam persepsi publik atas korupsi secara kelembagaan. Begitu pun di survei lainnya yang senantiasa menganggap pemerintah dan parlemen adalah tandem pelaku, yang paling sering sebagai pelaku koruptif di Indonesia. Apalagi keduanya dipilih dalam kontestasi berbiaya mahal yang makin melumrahkan kemungkinan untuk koruptif.
Tidak hanya karena 'kelumrahan' itu, tetapi juga karena hakim adalah pemegang kedaulatan Tuhan dalam struktur kapasitas negara. Ia dianggap menjadi wakil Tuhan di muka bumi, yang harusnya lepas dari segala tindakan corruptio yang juga diartikan kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, amoral, serta jauh menyimpang dari kesucian. Tindakan yang secara prinsipiel tentunya tidak bisa ditoleransi menjadi bagian dari tin....