“SULIT sekali. Bikin pusing!”
Bapak mengeluh saat membantuku mengerjakan PR (pekerjaan rumah) matematika. Ia lalu ke dapur. Tak lama berselang, Bapak sudah kembali ke ruang tamu dengan secangkir kopi.
Ia menyeruput kopinya sedikit demi sedikit sembari bermain solitaire di telepon seluler pintarnya.
Begitulah kebiasaan Bapak kalau sedang pusing menghadapi rumus dan angka-angka. Sebagian menjadi lebih rumit dan berbelit-belit manakala diracik menjadi soal-soal berwujud cerita.
Kopi hitam tanpa gula dan game solitaire adalah obatnya. Setelah pusingnya hilang, ia akan kembali membantuku mengerjakan tugas.
Sebenarnya, pelajaran matematika yang menyebabkan Bapak pusing itu adalah tugasku. Aku yang sekolah, dan seharusnya aku pula yang pusing.
Tapi, aku sendiri tidak semuanya paham.
Bu Guru, kalau menerangkan lewat Zoom, kurang begitu jelas. Lagi pula, aku jarang mengikuti pelajaran daring seperti itu. Boros kuota internet! Bisa habis 400 megabytes sekali pertemuan.
Lebih baik kupakai untuk bermain Mobile Legends, atau menonton video-video shorts di Youtube. Sama-sama boros kuota, tapi tidak bikin pusing.
Yang mengeluh pusing karena sulitnya pelajaran sekolah, tentu saja bukan hanya Bapak. Orangtua teman-teman sekolahku pun demikian. Kecuali, mereka yang berprofesi sebagai guru. Atau, yang mampu mengikutkan anak-anaknya les atau bimbingan belajar.
Bapak hanyalah seorang petani penggarap, alias buruh tani. Ia tidak mempunyai lahan sendiri. Kadang ia diminta pemilik lahan untuk mencangkul. Lain waktu, ia membantu pemilik traktor untuk mengolah lahan sebelum masa tanam.
Pernah juga, beberapa kali, Bapak diminta mengerjakan sekaligus mengurus lahan milik tetangga. Penghasilan yang didapat dari pekerjaan seperti itu tentu saja tidak seberapa.
Nah, daripada uang dipakai untuk mengikutkan aku ke tempat les, lebih baik digunakan untuk membeli beras dan kebutuhan lain yang lebih penting. Untuk beli kuota internet, contohnya. (Bukankah hari ini, kuota internet juga sudah termasuk kebutuhan pokok?)
Dalam hal ini, Bapak punya prinsip: lebih baik ‘pusing’ daripada harus kehilangan uang. Maka dengan telaten, ia akan mencari rumus-rumus melalui Google dan Youtube agar bisa membantuku mengerjakan PR matematika.
Apabila kuota internet sedang menipis, ia akan membolak-balik halaman demi halaman buku paket yang dipinjamkan oleh sekolah.
Untungnya, Bapak tidak terlalu gaptek dengan hal-hal seperti itu. Meski hanya buruh tani, ia punya ijazah SMA.
“Tapi dulu Bapak termasuk bodoh. Nilai matematika paling tinggi enam,” katanya.
Ia pun mengakui, pelajaran yang kudapat saat ini jauh lebih rumit ketimbang zamannya sekolah dulu. “Pelajaran SMP kok sulitnya seperti SMA,” katanya lagi.
Anehnya, setiap kali PR matematika dikerjakan oleh Bapak, nilai yang aku dapat selalu melewati passing grade, atau batas nilai minimal yang ditentukan oleh Bu Guru. Bahkan aku pernah memperoleh nilai sembilan untuk tugas barisan aritmatika dan geometri.
Padahal, Bapak sendiri yang bilang kalau pelajaranku lebih sulit dibanding yang ia terima dulu.
Barangkali dulu Bapak kurang sungguh-sungguh saja, batinku.
Sempat terpikir olehku, mungkin aku saat ini sama saja dengan Bapak dulu saat sekolah: malas belajar. Namun, aku punya pembelaan. Aku kurang memahami matematika, karena memang sangat jarang diajar langsung oleh Bu Guru.
Selama kelas tujuh, aku dan teman-teman hanya 15 kali masuk sekolah. Itu pun, hanya diberi dua mata pelajaran tiap pertemuan. Masuk jam setengah delapan pagi, dan pukul 10 sudah pulang. Penyebabnya, apa lagi kalau bukan pandemi.
Seharusnya, kami masuk sekolah kira-kira 290 hari dalam setahun, setelah dikurangi macam-macam hari libur.
Sekarang aku duduk di kelas delapan, sejak tujuh bulan lalu. Sampai minggu ini, aku dan teman-teman baru masuk sekolah sebanyak 27 kali.
Sama seperti saat kelas tujuh, di tiap pertemuan, kami juga hanya menerima dua mata pelajaran dari ibu dan bapak guru. Jam masuk dan pulangnya pun sama.
Sejujurnya, kami senang karena lebih banyak libur. Aku sendiri, misalnya, punya lebih banyak waktu untuk bermain Mobile Legends, atau menonton video di kanal-kanal Youtube yang aku subscribe.
Aku juga lebih punya banyak waktu untuk bermain futsal dan skipping, olahraga-olahraga kegemaranku.
Masalahnya adalah ketika tiba waktunya penilaian tengah dan akhir semester. Terutama, ketika materi ujiannya adalah matematika. Bayangkan, kami harus mengerjakan sejumlah soal dengan batasan waktu, dan materinya sama sekali belum pernah kami pelajari mendalam.
Memang, bukan hanya aku yang tertinggal dalam pelajaran sekolah. Teman-teman di kelasku banyak yang senasib denganku: tidak paham pelajaran, tapi juga tidak ikut bimbingan karena masalah biaya.
Suatu saat, ayah pernah menghiburku. Katanya, yang tertinggal dalam pelajaran bukan hanya aku dan teman-teman lain di Indonesia. Murid-murid sekolah di berbagai negara juga bernasib sama.
Bahkan, tanpa adanya pandemi pun, anak-anak korban perang di Suriah, Palestina, dan daerah-daerah konflik lainnya telah lebih dulu, bertahun-tahun, belasan tahun, kehilangan haknya mendapatkan pendidikan yang layak.
BAPAK berpisah dengan Ibu saat aku kelas lima SD. Aku tidak mengerti alasan mereka berpisah. Selama aku hidup bersama mereka, rasanya semua baik-baik saja.
Ibu sudah mengatakan kepadaku bahwa ia akan pulang ke rumah nenek, kira-kira sebulan sebelumnya. Ibu berasal dari sebuah pulau di luar Jawa.
Tetapi, ketika kutanya akan berapa lama Ibu berada di sana, ia hanya menjawab, “Mungkin agak lama.”
Aku dan Bapak mengantar Ibu di Bandara Yogyakarta. Bapak memeluk Ibu dan mencium keningnya sesaat sebelum Ibu memasuki area check-in bandara.
Sejak saat itulah, hampir semua keperluanku diurus oleh Bapak. Mulai dari memasak, mencuci baju, sampai membantuku mengerjakan PR.
Suatu hari, aku tak sengaja membaca pesan Ibu kepada Bapak di Whatsapp. Kata Ibu dalam pesan itu, “Lekas menikah lagi. Tapi perempuannya yang sayang dengan anak kita.”
Sudah hampir tiga tahun mereka berpisah. Sampai sekarang, Bapak belum juga menikah lagi. Entahlah kalau Ibu.
Aku kasihan kepada Bapak. Ia harus mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang dulu selalu dibereskan Ibu.
Setelah bangun tidur dan salat Subuh, Bapak menanak nasi serta menyiapkan sayur dan lauk. Setelah itu, ia menyapu ruangan-ruangan rumah. Kalau ada pakaian kotor, ia mencucinya. Aku hanya mendapat jatah mencuci pakaianku sendiri dan membersihkan kamarku.
Jika giliranku masuk sekolah, ia juga yang menyeterika seragamku.
Setelah semua pekerjaan di rumah selesai, Bapak berangkat ke sawah. Menjelang tengah hari, ia pulang untuk beristirahat, dan kembali lagi ke sawah sore hari.
Malam harinya, semua tugas-tugas belajarku pasti ia periksa. Termasuk, membantuku mengerjakan PR. Bukan sekadar membantu, ia justru lebih sering mengerjakan tugas-tugas sekolahku.
Aku merasa, pandemi telah mengajarkan kepada kami, anak-anak sekolah, betapa berharganya kehadiran seorang guru.
Aku, dan banyak temanku, tak mampu menangkap materi pelajaran hanya dengan membaca buku pelajaran. Jangankan hanya dengan membaca buku pelajaran, mendengarkan penjelasan guru melalui Zoom pun, kami tetap sulit memahami.
Berbeda halnya dengan pembelajaran tatap muka di dalam kelas. Dengan satu atau dua kali pertemuan saja, aku akan langsung paham rumus-rumus matematika, sesulit apa pun itu.
Di dalam kelas, ibu dan bapak guru bisa membuat rumus dan angka-angka yang rumit menjadi lebih sederhana.
Kalaupun ada di antara kami yang tidak juga paham, atau hampir menyerah, guru tahu benar cara menyemangati anak-anak didiknya supaya tidak mudah berputus asa.
Aku ingin agar pandemi ini segera benar-benar berakhir. Jangan ada lagi pembatasan ini dan itu. Tidak ada lagi sekolah daring. Dengan begitu pula, waktu, energi, dan pikiran Bapak akan lebih banyak ia pergunakan untuk bekerja. Bukan tersita karena harus menggantikan tugas guru memberikan pelajaran sekolah. (M-2)
Muhammad Ihsan adalah siswa Kelas 8F SMPN 7 Kota Magelang, Jawa Tengah. Cerpennya Waktu untuk Bapak merupakan pemenang ke-2 Sayembara Cerpen Media Indonesia 2021 untuk kategori pelaj....
- Home
- Category
- POLKAM
- FOKUS
- EKONOMI
- MEGAPOLITAN
- OPINI
- SUARA ANDA
- NUSANTARA
- HUMANIORA
- INTERNASIONAL
- OLAHRAGA
- SELEBRITAS
- EDITORIAL
- PODIUM
- SELA
- EKONOMI DIGITAL
- PROPERTI
- KESEHATAN
- OTOMOTIF
- PUNGGAWA BUMI
- BELANJA
- JENDELA BUKU
- WAWANCARA
- TIFA
- PESONA
- MUDA
- IKON
- MEDIA ANAK
- TRAVELISTA
- KULINER
- CERPEN
- HIBURAN
- INTERMEZZO
- WEEKEND
- SEPAK BOLA
- KOLOM PAKAR
- GARDA NIRBAYA
- BULAKSUMUR
- ICON
- REKA CIPTA ITB
- SETARA BERDAYA
- EDSUS HUT RI
- EDSUS 2 TAHUN JOKOWI-AMIN
- UMKM GO DIGITAL
- TEKNOPOLIS
- EDSUS 3 TAHUN JOKOWI-AMIN
- PROMINEN
- E-Paper
- Subscription History
- Interests
- About Us
- Contact
- LightDark
© Copyright 2020
Media Indonesia Mobile & Apps.
All Rights Reserved.